Sunday, 27 February 2011

18 Tahun, Sudah Punya Puluhan Karyawan


KOMPAS.com - Bisnis aneka minuman cepat saji kian mengalir. Mulai mengusung merek pribadi hingga waralaba (franchise). Bahan dasarnya bisa susu, cincao, teh, sinom alias jamu, buah, hingga yang serba racikan sendiri. Bisnis teh kemasan siap saji misalnya, banyak diminati lantaran keuntungan yang diperoleh cukup besar, cara pembuatannya juga tak sulit.
Meracik teh yoghurt kini menjadi andalannya. Padahal, Victor Giovan Raihan, pelajar 18 tahun ini, semula hanya iseng-iseng saja membuat minuman yang memadukan teh dan susu fermentasi ini. Hasilnya, minuman olahannya ternyata memiliki banyak penggemar.
“Modal awalnya Rp 3 juta dengan meminjam dari orangtua sekitar 2010. Saat ini per outlet paling apes menghasilkan Rp 2 juta per bulan. Outlet lain yang ramai bisa lebih dari itu,” aku pemilik merek Teh Kempot ini.
Ide menamai Teh Kempot berasal dari cara orang minum teh kemasan dengan sedotan, jika teh terasa enak dan hampir habis pasti orang akan terus menyedot hingga bentuk pipinya kempot. Begitu kira-kira harapan Victor menjadikan teh yoghurt berasa paling yummy.
Sulung dua bersaudara yang bersekolah di SMA Negeri 1 Kepanjen ini memiliki 10 outlet yang dikelola sendiri dan 17 outlet yang dikelola oleh mitranya. Bermitra dengannya cukup bayar Rp 3,5 juta dan akan mendapatkan 1 paket booth (gerobak), alat masak dan 100 cup (gelas kemasan) pertama. Dua mitra diantaranya ada di Jakarta dan Palembang, lainnya tersebar di Kota Malang.
“Saya belum berani menjual hak dagang secara franchise karena masih sangat pemula. Jujur saja bisnis teh kemasan siap saji ini marjin keuntungannya bisa 350 persen. Kalau kuliner seperti, Bakso Mercon yang sedang saya kelola, marjin keuntungannya hanya 100 persen,” lanjut putra pasangan Sri Winarsih dan Bambang Hermanto.
Victor memang lebih dulu mengelola bisnis bakso, ketimbang teh yoghurt. Outlet baksonya baru ada lima, kesemuanya ada di Malang. Tahun ini, ia berencana nambah lima outlet. Bisnis yang dikelolanya ini belakangan berkembang ke minuman. Alasannya sederhana, kalau orang makan bakso pasti butuh minum.
“Saya coba beli daun teh setengah matang dari pemasok, saya kelola sendiri lalu saya mix dengan yoghurt (susu fermentasi). Ada rasa lemon tea, stoberi, dan cokelat,” ujar pria yang bermukim di Jl Panji II Kepanjen ini.
Per kemasan atau segelas teh yoghurt ukuran 250 ml dijual seharga Rp 2.000-2.500. Jumlah karyawan yang bekerja padanya kini tak kurang dari 50 orang, termasuk untuk outlet bakso dan teh yoghurt.
Setiap harinya, ia bisa menghabiskan 20 kg daun teh kering untuk diproduksi atau menjadi 70 gelas. Gula yang dibutuhkan 4 kg per outlet per hari. Sedangkan kebutuhan daging untuk bakso sekitar 20 kg per hari.
“Usaha bakso tetap akan jadi core business saya karena omzetnya besar. Kalau teh hanya sampingan. Ke depan, saya akan tambah mitra di kota-kota besar, seperti Surabaya dan Sidoarjo,” lanjut Victor.
Ia mengaku, jalan yang ia tempuh dari hasil kerja kerasnya kini membawa keberuntungan yang luar biasa di usianya yang masih belia. “Saya tidak tahu jika dulu saya mengikuti anjuran ayah untuk sekolah di kepolisian apa ‘omzet’nya akan sebesar ini. Keluarga besar saya semua di jalur angkatan bersenjata. Tapi saya tidak minat mengikuti jejak tersebut,” yakinnya.
Untuk perluasan usaha, Victor masih enggan mengajukan kredit kemana-mana. Pakai modal pribadi dan pinjam orangtua masih memungkinkan. “Toh bapak saya dapat fasilitas kredit dari bank, yakni kredit kepolisian. Saya pinjam dari situ juga,” pungkasnya. (Dwi Pramesti YS)

Friday, 25 February 2011

Brian Faridhi, Sukses Berkat Utak-atik Komputer


Usianya baru 24 tahun. Meski begitu, Brian Arfi Faridhi sangat berpotensi menjadi pengusaha sukses. Modalnya bukan setumpuk uang, melainkan keberanian mencoba berbagai jenis usaha untuk menempa talenta bisnisnya. Setelah berkali-kali gagal, mahasiswa ITS itu mulai menemukan jalur sukses di jasa web development dan online marketing.

brian_arfi_faridhiMemasuki ruang tamu di sebuah rumah yang tidak terlalu besar di kawasan Semolowaru, Surabaya, tampak deretan rak yang menempel di sekeliling tembok. Di rak tersebut dipajang pernak-pernik dan aneka kebutuhan muslim.

Ada buku bacaan Islam, kitab suci, obat-obatan herbal, dan buku-buku anak. Di sebelah salah satu rak tersebut, ada sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat lima orang laki-laki yang sedang asyik dengan komputer masing-masing. Salah satunya adalah Brian Arfi Faridhi, owner PT Dhezign Online Solution.

Laki-laki yang kini masih tercatat sebagai mahasiswa Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) sejak 2003 mulai menceritakan tentang perjalanan bisnisnya.

Melakoni berbagai jenis bisnis, tampaknya, sudah menjadi menu sehari-hari Brian. Mulai bisnis les privat, berjualan parfum di koridor kampus, buka lapak, jual jus di rombong kaki lima, jual roti bakar, burger penyet, es bubur kacang ijo, hingga berjualan batagor keliling pun sempat dilakoni.

Namun, di tengah usahanya menekuni beragam bisnis yang dirintis itu serta di sela-sela kesibukan kuliah, dia pun kerap bereksperimen dengan komputer. Mulai nge-blog, ikut milis, hingga mendesain sebuah website. Dari kegemaran bereksperimen dengan komputer itulah, pada 2006, lahir sebuah toko yang men-display produk secara online (toko online).

Bisnis via internet yang dirintis tersebut bertujuan memberi wadah bagi siapa saja yang ingin memasang iklan. Toko online itu bisa menjadi alternatif pemasaran produk. "Yang biasanya pasang iklan di majalah atau koran, kini bisa lebih mudah melalui online," terang peraih juara I Wirausaha Muda Mandiri 2009 kategori Industri Kreatif Mahasiswa tersebut.

Untuk mendapatkan orang yang mau memasarkan produknya di internet, Brian pun menyebarkan proposal. Sayang, keberuntungan belum berpihak kepada dirinya. Meski sudah menyebarkan banyak proposal kepada pihak-pihak yang dirasa potensial memasang iklan, ternyata proposal-proposal itu tidak ada yang sukses. "Tidak ada yang mau. Untuk foto produknya saja mereka enggan," ungkapnya.

Tidak berputus asa, dia pun mencari sendiri konsumen secara langsung tanpa proposal. Ketika itu, tutur Brian, ada sebuah toko yang berjualan buku-buku bacaan muslim. Dia pun menghampiri dan mengungkapkan maksud serta tujuannya kepada sang pemilik. "Saya pinjam buku-buku dan minta izin untuk saya scan sampulnya, selanjutnya dipajang di internet. Saya pinjam dengan jaminan KTP," kenang suami Juanita Vyatri tersebut.

Untuk melengkapi informasi saat men-display produk di internet, selain melakukan scan, dia menimbang dan mengukur buku-buku tersebut. Tujuannya, pembeli bisa tahu berat dan ukuran buku yang akan dibeli. Itu sangat berguna ketika harus dikirim melalui paket. "Nah, setelah di-display di internet itulah, akhirnya ada pembeli dari luar Jawa, yaitu Samarinda dan Batam," tuturnya.

Dari toko online itu, bisnis via internet yang dilakoni Brian makin berkembang. Dia mengembangkan keahliannya dengan membuat situs VimpleShop.com. Fungsinya sama seperti toko. Namun, aplikasi itu seperti blog. Jadi, gratis dan bisa dikreasi sendiri oleh blogger. "Tapi, ada juga yang bayar, jika konsumen mau nambah banner, fitur diskon, dan tambahan kecil-kecil lainnya," ujar ayah tiga anak tersebut.

Merasa masih punya keahlian lain yang bisa digali, Brian pun mencoba peruntungan di bidang web development. Yaitu, merancang dan membuat website pesanan. Melalui web development itu, dia menerima banyak pesanan pembuatan company profile.

Menurut Brian, membuat website tidak mudah. Butuh kecermatan dan kejelian. Sebab, membuat website sama seperti membangun sebuah rumah. Diperlukan analisis sebagus apa dan sebesar apa web yang akan dibuat. Perlu juga diperhatikan seribet apa, sedetail apa, dan secanggih apa website itu. Juga, bagaimana tipe yang akan dibuat, company (perusahaan) atau toko. "Jadi, seperti arsitek," tegasnya.

Pembuatan company profile, misalnya. Secara teknis, satu hingga dua minggu pembuatan profil sudah selesai. "Biasanya yang lama itu nunggu acc dari klien. Kadang dari pihak mereka harus dikonsultasikan dulu dengan atasan dan pimpinan-pimpinannya," ujarnya.

Ada pun beberapa perusahaan yang telah memanfaatkan jasanya adalah Baba Rafi, Yayasan Kas Pembangunan, Indah Bordir (toko batik di Sidoarjo), serta Universitas Wijaya Putra.

Brian tidak main-main dengan usaha yang sedang digeluti itu. Untuk urusan web development misalnya, dia tidak ingin ada barang bajakan. Salah satunya, memilih program PhotoShop yang orisinal seharga Rp 7 juta. ''Itu menunjukkan seberapa serius kami dengan klien. Kami jual jasa dan skill. Nah, kalau kita tidak mau menghargai orang (pembuat) PhotoShop, sama artinya kita tidak berkomitmen,'' ujarnya.

Untuk menunjukkan keseriusan melayani konsumen, dia pun memberikan garansi. Sebulan setelah web selesai dan klien tidak puas, pihaknya menjamin 100 persen uang kembali. "Tapi, kalau proyek belum selesai dan pengorder membatalkan, jaminan tidak kami berikan. Sebab, kami sedang berusaha membuat," terangnya.

Lalu, berapa kali bisa membuat website dalam sebulan? Tidak pasti, bergantung kapasitas website yang akan dibuat. Menurut Brian, jika website sederhana, sebulan bisa sampai lima website. ''Bergantung permintaan customer, mau yang seperti apa,'' tuturnya.

Melalui PT Dhezign Online Solution yang dia dirikan pada 2008, ada dua jenis usaha yang kini di bawah naungannya. Yaitu, web development dan online marketing. Hingga kini, setidaknya sudah lebih dari 50 klien memanfaatkan jasa tersebut. ''Sekitar 30 klien dari luar negeri seperti Amerika, Inggris, Yunani, Australia, dan Belanda,'' jelas Brian.

Menemukan klien dari luar negeri juga mudah. Cukup masuk ke milis-milis. Nah, di sana nanti pasti bertemu banyak orang yang juga dari luar negeri.

Modal untuk mendirikan bisnis online juga cukup sederhana. Asalkan punya skill, bisa desain programming, ada komputer, dan koneksi internet, semua bisa berjalan. Biaya hosting (space atau tempat di internet untuk menyimpan data-data situs) cukup Rp 150 ribuan. Bayar domain (nama situs yang dimiliki di internet) juga Rp 150 ribu selama setahun.

Dikatakan, untuk mendesain toko online yang sederhana, harganya Rp 350 ribu hingga Rp 1 juta, sudah termasuk domain. Untuk website bisa mencapai Rp 5 juta hingga Rp 100 juta, bergantung spesifikasi website yang akan dibuat. Menurut Brian, besarnya omzet berdasar proyek. Jadi, tidak bisa diprediksi. "Secara keseluruhan, omzet PT Dhezign Rp 500 juta per tahun," katanya.

Dari Kurir Menjadi Miliarder


Memulai karirnya sebagai kurir tak menyurutkan semangat Anis Nugroho Widharto untuk terus berbisnis. Embel-embel sarjana ekonomi dari Universitas Diponegoro, Semarang juga tak lantas membuatnya malu memiliki pekerjaan seorang kurir. Lantas, apa yang membuat Anis yang kini menjabat sebagai Direktur Utama Lintas Group ini akhirnya nekat memulai bisnisnya yang belakangan kian menggurita tersebut?

"Apapun risikonya saya ambil dan nekat itu yang saya lakukan. Saya juga menikmati betul lezatnya berbisnis karena jatuh bangun bagi saya sudah biasa. Bahkan itu bukanlah sebuah kegagalan tetapi justru awal langkah kesuksesan," tutur Anis beberapa waktu lalu.

Berbisnis sejak tahun 2000, bersama sejumlah rekannya, Anis hanya bermodalkan uang sekitar Rp 25 juta pada tahun 2005. Saat itu, perkembangan bisnisnya relatif stagnan dan ia pun juga gagap berpikir dalam berbisnis. Akhirnya dengan segala cara, bapak tiga putri itu mulai mengedepankan networking (jaringan). Hasilnya, benar-benar mengejutkan karena lewat jaringan yang kuat itu pun Anis kian melebarkan sayap usahanya. Aset awal yang hanya Rp 25 juta itu, dalam waktu sembilan tahun bisa bergerak hingga puluhan miliar. Fantastis!

Salah satu bidang usahanya Lintas Persada Manunggal misalnya, yang awalnya bergerak di bidang kurir kini tumbuh menjadi pengembang perumahan di daerah Manyaran Semarang. Lintas Group juga lebih banyak berkonsentrasi di bidang industri telekomunikasi mulai dari perizinan, pembangunan menara telekomunikasi, hingga pengadaan ketenagalistrikan. Merdeka Lintas Bagawanta, kata dia, juga berhasil menggaet hampir semua konsumen perusahaan telekomunikasi yang ada.

Pria kelahiran Demak, 4 Desember 1971 tersebut menilai hampir 70 persen mereka yang memulai bisnis di Indonesia masih bermental seperti makelar yang tak berani ambil risiko dan bermain aman-aman saja. Padahal dengan mencoba berani memulai dan mengetahui rasanya gagal, berkeringat, dicemooh dan menangis karena jatuh bangun, maka akan terbentuk sebuah kekuatan dalam berbisnis. (Suara Merdeka)

Rudi Salim, Pengusaha Muda di Dunia Maya


Umur 23 punya bisnis beromzet lebih dari Rp 1,3 miliar sebulan. Itulah yang kini dilakoni Rudi Salim. Pria lulusan SMA tersebut menekuni bisnis yang penuh risiko. Yakni, membiayai kredit untuk transaksi online.

rudi_salimUsaha penghobi game online tersebut hanya mengandalkan website dan thread atau lapak di www.kaskus.us dengan tampilan sederhana berupa tawaran kredit kepada siapa saja yang bertransaksi jual beli via online. "Sangat efektif kan. Tapi, saya membangun semua ini dari nol dengan modal menjual mobil pemberian orangtua," jelas bos PT Excel Trade Indonesia.

Pria yang pernah mencicipi bangku kuliah di fakultas kedokteran sebuah perguruan tinggi Jakarta selama dua semester itu menjelaskan, usaha tersebut dimulai dengan kenekatan dirinya membiayai transaksi jual beli di dunia maya (online) tanpa berjumpa dan kenal orang sebelumnya. Saat bisnis tersebut dirintis, orang tuanya sempat menentang keras.

"Terutama ibu saya. Sebab, saya putus sekolah dan menjual mobil serta melego salah satu usaha karaoke milik keluarga. Bahkan, ibu sempat bilang tak mau bertemu saya sebelum saya sukses," kenang pria kelahiran Jakarta 24 April 1987 tersebut.

Uniknya, kata Rudi, inspirasi bisnisnya tersebut justru bukan dari dunia online. Tapi, dari perbincangan dirinya dengan temannya yang bekerja di salah satu toko elektronik besar berjaringan nasional yang menyediakan pembiayaan untuk pembelian barang elektronik dari customer. Dari perbincangan tersebut, dia melihat potensi yang masih sangat besar dari bisnis pembiayaan pembelian barang kredit, terutama di dunia online.

Tapi, bisnis Rudi tak langsung mulus dan lancar. Karena minimnya pengalaman, dia berkali-kali ditipu orang. "Awalnya, survei saya hanya melalui telepon berdasar aplikasi dan data yang dikirimkan melalui e-mail kepada calon debitor ke kantor dan rumah calon debitor," terang anak ketiga di antara tiga bersaudara itu.

Benar saja, permintaan pembiayaan kredit barang naik diikuti naiknya permintaan kredit bodong alias penipuan. Pada awal usahanya didirikan, sudah ada 60 aplikasi yang masuk dari nasabah di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Tapi, di antara aplikasi-aplikasi yang diajukan untuk dibiayai transaksinya kepada perusahaan Rudi, tak sedikit yang bermasalah. "Karena itu, saya selalu cek aplikasi kredit itu sendiri," ujarnya.

Awalnya, kenekatannya dalam berbisnis penuh risiko tersebut dimanfaatkan orang-orang tidak bertanggung jawab. Beberapa orang sengaja membuat identitas palsu untuk mengibuli Rudi. Bahkan dia sempat ditipu sindikat pemalsu kartu kredit dan menderita kerugian hingga Rp 15 juta.

Kala itu, ada seorang ibu yang mengajukan aplikasi online untuk membeli laptop dengan kredit senilai Rp 10 juta. Semua data cocok, termasuk saat pengecekan dengan menelepon kantor tempat debitor tersebut bekerja di salah satu BUMN. "Dia sempat membayar empat kali cicilan dan selalu tepat waktu," cerita dia.

Rudi pun percaya kepada "nasabah"-nya tersebut. Karena itu, ketika si ibu kembali mengambil kredit untuk barang yang sama, dia tidak berkeberatan untuk membiayai. "Tak saya sangka, ternyata sejak itu dia menghilang. Kredit laptop keduanya tak dibayar, juga cicilan laptop pertama. Saya kena tipu mentah-mentah," ujarnya.

Saat Rudi mendatangi kantor si "nasabah", orang yang namanya sama dengan nama si ibu tersebut ternyata tidak tahu apa-apa soal kredit laptop itu. "Tampaknya, orang yang saya temui itu namanya dicatut si penipu," imbuhnya.

Dari berbagai pengalaman menjengkelkan tersebut, Rudi kemudian banyak memperbaiki sistem pengucuran kredit perusahaannya. Dia lalu merekrut beberapa orang yang bertugas menyurvei langsung di lapangan. "Kini sebelum bisa menyetujui kredit nasabah, kami menyurvei secara ketat. Setelah barang ada, orang tersebut menandatangani perjanjian dan difoto bersama barangnya," jelasnya.

Sejak sistem baru diterapkan, Rudi jarang kena tipu lagi. Bahkan, banyak pelanggan yang merasa puas atas pelayanan yang aman dan nyaman yang diberikan perusahaan Rudi.

Dalam waktu cepat, nama perusahaan Rudi melejit, terutama di berbagai forum jual beli secara online. Tanpa harus mengeluarkan biaya promosi, publikasi atas perusahaan itu cepat menyebar di banyak forum diskusi di dunia maya maupun dari mulut ke mulut yang pernah merasakan kemudahan layanannya.

Begitu banyaknya permintaan klien dari luar kota membuat Rudi kembali memutar otak untuk meraup peluang tersebut. Dia kemudian menggandeng beberapa moderator daerah di www.kaskus.us untuk menjadi surveyor. Karena itu, Rudi lalu membuka cabang di delapan kota di luar Jabotabek. "Kecil kemungkinan para moderator bermasalah karena mereka juga menjaga reputasinya di dunia maya. Sebab, mereka juga berjualan di forum tersebut," tegasnya.

Kini, dia mengembangkan usahanya dengan mulai membiayai permintaan kredit dari para debitor di bawah usia 17 tahun dengan jaminan orang tuanya. Yang menarik, sekitar 85 persen permintaan pembiayaan kredit yang diajukan kepada dirinya, belakangan ini, adalah untuk pembelian BlackBerry dan handphone (HP). "Sekarang, saya bersiap untuk ekspansi ke bisnis lain," tuturnya mantap. (*/jpnn)

Sahadewa, Raup Rupiah dari Industri Kreatif


Bisnisnya tergolong unik dan kreatif, juga baru saja dijalani hampir tiga tahun. Namun, dalam tempo singkat, modalnya berkembang pesat hingga 50 kali lipat. Bahkan, dia pun meraih penghargaan sebagai wirausaha muda andalan.

atthur_sahadewa_widjajaItulah Atthur Sahadewa Widjaja, seorang wirausaha muda yang bergerak di industri kreatif. Di kisaran usia 30-an tahun, bisnis yang dirintis dan digelutinya sukses berkembang pesat.

Padahal, ini cuma berawal dari hobi main internet dan utak-atik software antivirus sejak awal kuliah teknik informatika dari Institut Sains & Teknologi Akprind Yogyakarta pada 2000. Kegemarannya terusik saat muncul virus hallo.roro merusak file-file sampai 10 megabite pada awal 2007. Saat itu, dia pun meneliti dan membuat antivirus untuk menyembuhkan serangan virus tersebut.

Kemudian, giliran virus Brontox menyerang. Lagi-lagi, dia meneliti, menemukan antivirusnya, sekaligus membuat tutorial untuk menghapusnya. Namun, daripada susah-susah mengikuti panduan, Atthur kemudian software antivirus gratisan yang dimuatnya di virologi.info.

"Saya juga membuat bukunya agar orang tidak penasaran," kata Atthur. Ketika buku diterbitkan, dia senang karena mendapatkan sambutan luar biasa. Buku berjudul "Seni Pemrograman Virus" itu sudah dicetak hingga 10 kali dimana setiap kali cetak 2000 eksemplar.

Sukses membuat buku antivirus, pria yang hobi main internet itu kemudian membuat dan menerbitkan buku lainnya. Di antaranya adalah "Empat Hari Jadi Hacker", buku kisah pengalamannya menjadi hacker ini dicetak 14 kali, setiap kali cetak sebanyak 2.500 eksemplar.

Buku lain ciptaannya yang juga best seller adalah "Monalisa Pun Tertawa" Ini adalah buku tentang teknik melakukan hacking atau meretas yang dibungkus dalam sebuah bingkai cerita. "Jadi ini kisah bagaimana memakai tools-tools di komputer dan internet untuk hacking yang dibumbui cerita."

Namun, dia mengingatkan meskipun cerita itu mengajarkan kisah tentang hacker, tetapi juga menekankan sisi-sisi positif. "Jadi, saya tidak mendorong orang untuk menjadi hacker loh. Itu kesannya jelek seperti pembobol ATM gitu."

Kendati sempat berpengalaman sebagai hacker, Atthur pun kini enggan disebut sebagai sebagai sosok peretas. Dia lebih senang disebut sebagai praktisi hacking, yang berarti orang yang bekerja di dunia peretasan komputer. Jadi, sebagai praktisi justru sebaliknya, bisa juga sebagai orang yang justru melindungi dari serangan hacker.

Sebagai praktisi hacking, dia mengingatkan soal data-data pemerintah yang mudah dibobol di internet. Misalnya saja soal pagu anggaran laporan keuangan pemerintah yang seharusnya tersembunyi. Data-data itu dengan mudah diunduh dari google. Padahal, data tersebut sangat riskan disalahgunakan.

"Kalau orang berniat buruk, bisa saja data-data itu disatukan menjadi laporan keuangan indonesia," kata pria jebolan teknik informatika dari Institut Sains & Teknologi Akprind Yogyakarta pada 2006 ini. "Itu kan bahaya kalau jatuh ke tangan orang asing yang berniat buruk pada Indonesia."

Begitupula dengan data-data perkiraan sebuah perusahaan. Dia menyebutkan contoh dua perusahaan otomotif. Dia mengatakan dari data-data di website mereka bisa diketahui forcasting data perusahaan itu. "Pesaing kan bisa saja menyewa pencuri data untuk ambil data itu, untuk menggempur saingannya."

Setelah hampir tiga tahun berjalan, bisnis yang berawal dari hobi main internet kemudian berkembang pesat. Dengan modal awal Rp 8 juta pada 2007, bisnisnya pun melejit. Sekarang total asetnya Rp 400 juta.

Usahanya mencakup software untuk melindungi server dari serangan hacker, pengembangan "sistem operasi bandit", jasa security internet, serta usaha pembuatan buku. Mitranya juga sudah banyak, seperti LIPI, Badan Informasi Strategis, lipi, Badan Rekonstruksi Aceh dan lainnya.

"Di perusahaan saya, sekarang ada 4 karyawan tetap dan 9 freelance," kata pria yang pernah DO dari di Politeknik Manufaktur ITB-Swiss karena salah ambil jurusan teknik mesin ini. Tahun ini, dia berniat membuka kantor sendiri di Jojakarta. "Saya juga sudah umroh, nikah, dan membeli mobil dengan duit hasil keringat sendiri."

Bahkan, dia juga memenangkan kompetisi wirausaha Mandiri. Dia terpilih untuk kategori wirausaha Mandiri kreatif yang membuat produk anti virus dan keamanan internet untuk memberi kontribusi bermanfaat bagi masyarakat. "Saya dapat hadiah Rp 20 juta." (*/VIVAnews)

Salman Azis, Pemilik Warnet Gue


Pernah menolak tawaran menjadi pegawai bank, Salman Azis Alsyafi justru keukeuh menjalani bisnis. Sarjana Komputer Universitas Indonesia ini membuktikan dirinya sukses berbisnis warnet.

warnet_gueMotivasi saya terjun dalam bisnis adalah karena ingin mengeksplorasi daya imajinasi dan kemampuan saya tanpa dibatasi oleh sistem yang sudah ada. Sebab, saya orang yang senang menciptakan hal-hal baru yang bermanfaat bagi banyak orang," ujar Salman Azis Alsyafdi, pemilik usaha dan waralaba Warnet Gue.

Warnet Gue yang berlokasi di kawasan BSD, Serpong, berbeda dengan warnet lainnya. Sebab, Salman melengkapi Warnet Gue dengan fasilitas servis dan penjualan komputer. Namun, fokusnya tetap pada game on line dan sangat digemari oleh anak-anak. Warnet Gue juga menyediakan layanan makanan dan minuman. Harapannya, para pelanggan betah berlama-lama berada di warnetnya. "Ini strategi untuk meningkatkan omset," ujar pria kelahiran Jakarta,11 Februari 1986 itu.

Salman mengatakan, rata-rata omset Warnet Gue antara Rp 10 sampai Rp 12 juta per warnet/bulan. Manajemen Warnet Gue sedang menyiapkan pembangunan Warnet Gue ke-14. Kebanyakan warnetnya berada di Jabodetabek. "Ke depan, saya ingin lebih mengembangkan usaha waralaba warnet dalam rangka ekspansi usaha dan penambahan cabang. Saya coba memadukan dengan usaha makanan dan minuman. Ini merupakan konsep baru," tambahnya. 

Peringkat 2 Lomba Wirausaha Muda Mandiri (WMM) 2007 kategori mahasiswa yang  diadakan Bank Mandiri itu mengaku senang melihat anak-anak muda saat ini yang semakin tertarik menjadi pengusaha. Tapi, kata Salman, masih banyak anak muda yang setengah hati mewujudkan cita-citanya itu.

Dari pengamatan Salman, terkadang anak-anak muda begitu semangat ingin membuka usaha setelah keluar dari seminar waralaba. Namun, setelah beberapa hari kemudian semangat itu kendur sebelum menjalani usahanya. Atau, mereka sudah mulai usaha, tapi kemudian berhenti, menyerah menghadapi tantangan bisnis. "Seharusnya mereka menyadari membangun bisnis tidak gampang.  Memulai sebuah usaha ibarat mendaki gunung yang tinggi perlu kerja keras, kerja cerdas dan semangat pantang menyerah. Setelah mengalami proses jatuh bangun (secara mental—Red), barulah kita akan sampai pada puncak gunung,"ujarnya.

Ide mengembangkan Warnet Gue, berawal saat Salman masih kuliah tahun kedua di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI). "Ketika itu, saya tinggal di asrama UI yang berisi sekitar 1.000 mahasiswa. Saya lihat, kok belum ada warnet di situ. Saya berpikir kenapa tidak bikin warnet saja. Toh, itu sesuai dengan background pendidikan saya. Makanya saya mengambil  peluang bisnis warnet itu," tambahnya.

Untuk membangun usaha warnet itu, dia bermitra dengan temannya, dengan komposisi modal 50:50. "Saat itu, modal yang dibutuhkan sekitar Rp 38 juta. Saya menyediakan modal Rp 19 juta. Rinciannya, sebesar Rp 11 juta berasal dari hasil dagang saya selama jualan komputer dan jual buku di kampus UI. Sisanya Rp 8 juta berasal dari orangtua," ungkap Salman.

Dia juga berhasil menyakinkan orangtuanya—yang menginginkan Salman menjadi pegawai— setelah berjanji akan hidup Mandiri. Permintaan modal itu merupakan permintaan uang terakhir kalinya kepada orangtua. "Janji kepada orangtua itu memicu semangat saya makin berkobar. Syukur, saya sekarang bisa membiayai hidup dari hasil perjuangan sendiri," katanya bangga.

Saat kuliah, lanjut Salman, hasil penjualan buku-buku fotokopian dan buku komputer di Kampus UI, Depok, cukup besar untuk ukuran kantong mahasiswa. Ide jualan buku muncul karena dia melihat pasar yang relatif besar. Seluruh mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer UI yang berjumlah 100 orang butuh buku teks. "Awalnya, mahasiswa fotocopy sendiri-sendiri. Tidak ada yang organisir. Jadi, saya pikir kenapa tidak dikoordinir saja. Kan bisa jadi bisnis, selain bisa memudahkan mahasiswa mendapatkan buku," tuturnya. Setelah berjalan sekian bulan dan Salman sudah fokus mengurusi warnet, akhirnya bisnis buku fotocopy diserahkan ke senat.

Saat ini, selain punya empat warnet milik sendiri, Salman juga memiliki sembilan Warnet Gue yang dikembangkan secara waralaba. Salman mengaku, tidak menyesal pernah menolak menjadi bankir karena sekarang penghasilannya dari bisnis lebih besar daripada pendapatan seorang bankir. "Tapi, pada waktu menolak sih, pendapatan bisnis saya masih kecil dibandingkan jadi bankir. Saya mikirnya kan jangka panjang. Lagi pula kalau jadi wirausaha, kita yang kontrol penuh bisnis  kita," tambah sarjana komputer tahun 2008. (*/Warta Kota)

Priyo, Bos ISP dari Semarang


internet_smgBersentuhan dengan dunia teknologi informasi (TI) selama bertahun-tahun membuat Priyo Suyono akhirnya berani menjalankan bisnis internet service provider (ISP) dan solusi TI yang baru berjalan sekitar empat bulan terakhir. Ketertarikannya dengan dunia internet dan TI yang begitu besar ini dimulai sejak mengelola sebuah warung internet di Pati, Jawa Tengah selama dua tahun.

Lalu Priyo juga pernah bekerja selama dua tahun sebagai supervisor TI di salah satu perusahaan garmen di Bawen. Yang terakhir sebelum memutuskan untuk membuka usaha sendiri, ia dipercaya menjadi manager operasional salah satu ISP di Semarang selama 3,5 tahun.

Dari sinilah, inspirasi dan keinginan untuk berbisnis bagi pria kelahiran Malang, 1 Agustus 1980 ini pun semakin besar. Akhirnya bersama rekannya, Priyo membuka ISP PT Media Sarana Data dengan merek Gmedia yang berkantor di Jalan Kasipah No 29G, Semarang.

Priyo sangat suka tantangan dan proses kreatif serta inovasi memang mutlak dibutuhkan dalam bisnis yang digelutinya tersebut. Bagi Priyo yang kini menjabat sebagai direktur operasional, prospek bisnis ISP sangat menjanjikan ke depannya karena internet sudah menjadi salah satu media komunikasi yang penting untuk masyarakat sehingga permintaan terhadap layanan internet kecenderungannya meningkat.

”Segala hambatan ini malah menjadi inspirasi untuk selalu kreatif yang pada akhirnya secara tidak langsung mengedukasi pelanggan bahwa kualitas produk akan selalu berbanding lurus dengan harga. Saya selalu menanamkan mindset ke perusahaan maupun ke pelanggan bahwa bisnis ini bukan jualan internet karena kalau begitu di luar sudah banyak sehingga ditekankan yang kita jual adalah layanannya,” jelas Priyo.

Bisnis ini, lanjut dia, juga sangat tergantung terhadap kualitas layanan dan harga. Kecenderungan pasar yang sangat sensitif terhadap harga ini masih bisa diatasi dengan meningkatkan kualitas layanan, menciptakan nilai produk dan melakukan kustomisasi produk. (*/SM)